A. Tujuan Umum :
Warga belajar dapat mengembangkan potensi-potensi dalam dirinya, baik secara eksternal maupun internal, serta rasa percaya diri dalam berintegrasi dengan lingkungannya.
B. Tujuan Khusus :
Warga belajar dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi dunia kerja, mengikuti wawancara dengan sukses, dan mempresentasikan diri serta meyakinkan orang lain akan kemampuannya.
C. Pokok Bahasan : Persiapan Kerja
D. Sub Pokok Bahasan : Cara Menjual Diri
E. Sumber Pembelajaran :
1. Pengambangan Kepribadian, Euis Winarti, Penerbit Graha Ilmu.
2. Meniti Sukses Menata Masa Depan, M. Syahrial Yusuf,dkk. Penerbit Graha Ilmu.
3. Pengembangan Diri, Lembaga Pengembangan Kepribadian John Robert Powers.
4. Professional Image, A. B. Susanto.
5. Mengatur Waktu Secara Efektif, Lothar J. Seiwert, PT Elex Media Komputindo.
F. Metode Pembelajarn :
1. Presentasi
2. Diskusi
3. Studi kasus
4. Games
G. Materi Pembelajaran :
Tiga Cara dalam Marketing
Tentu kita tahu apa yang dimaksud dengan istilah "memasarkan-diri" di situ. Memasarkan-diri di sini bukan menjual-diri dengan cara-cara atau dalam hal yang negatif. Memasarkan-diri terkait dengan filsafat dasar yang dipakai dalam bisnis. Dunia bisnis punya landasan bahwa setiap orang diberi jalan hidup oleh Tuhan dengan cara menjual sesuatu dari dirinya ( selling ). Seorang pedagang menjual barang dagangannya. Seorang profesional menjual jasa keahliannya. Ringkasnya, seperti kata teori dasar ekonomi, yang kita jual itu kalau nggak barang ya jasa.
Terkait dengan urusan jualan inilah makanya marketing diperlukan. Orang marketing bilang, kalau urusannya usaha, selain selling, semua proses bisnis adalah cost ( biaya ). Yang mencetak profit, kata mereka, hanyalah selling. Agar selling ini bisa terjadi, tentu marketing dibutuhkan. Kalau selling tidak optimal, ya mau tidak mau harus reducing cost ( mengencangkan ikat pinggang ).
Dalam bahasan kita kali ini, memasarkan diri adalah upaya-upaya yang kita lakukan untuk meningkatkan kompetensi yang sering disebut dengan istilah "employability" atau kemampuan dalam memberikan manfaat ( advantage ) bagi pihak lain yang membutuhkan kita ( barang atau jasa: selling ). Menurut hukum Tuhannya, semakin banyak advantage yang bisa kita berikan kepada pihak lain ( pribadi atau organisasi ), semakin banyak pula profit yang akan kita dapatkan.
Profit ini bisa bermacam-macam, tergantung kesepakatan. Kalau kesepakatannya bisnis atau profesional, ya salah satunya uang atau mated yang bisa diuangkan. Kalau kesepakatannya bukan itu, ya profitnya bisa berbentuk power atau pahala. Intinya, profit itu luaslah pengertiannya. Untuk mendapatkan profit ini syaratnya adalah memberikan advantage. Agar kita bisa memberikan advantage yang lebih banyak dan ke orang yang lebih banyak, dibutuhkan upaya memarketingkan diri.
Terlepas apakah kita ( mungkin ) merasa risih atau tidak dengan istilah marketing di sini, tetapi sebetulnya ini biasa kita lakukan dalam aktivitas kita. Hanya memang yang berbeda di sini adalah caranya. Meminjam istilah yang dipakai Walton C. Boshear & Karl G. Albrecht ( 1977 ) dalam bukunya Understanding People, ada cara-cara yang animalistik, humanistik dan rasional. Animalistik artinya kita memilih cara seperti yang dilakukan oleh hewan atau motif-motif hewaniyah di dalam diri kita. Humanistik artinya kita memilih cara yang umum atau manusiawi. Sedangkan rasionalistik artinya kita memilih cara-cara yang sudah dicerahkan oleh etika peradaban dan kebudayaan yang luhur.
Sebagai contoh misalnya kita berkarya, entah menulis artikel, menulis buku atau menduduki jabatan dewan, jabatan profesi, dan lain-lain. Menurut bahasa marketing, ini adalah produk / bahan marketing. Jika motif dan cara kita adalah: supaya bisa sombong dan menjatuhkan orang lain, supaya menjadi lebih kaya dan memiskinkan orang lain, atau supaya lebih bisa berkuasa dan men-subordinasi-kan orang lain, maka motif dan cara demikian lebih dekat pada animalistik. Tapi, bila motif dan cara kita adalah: eksplorasi potensi, memberikan makna dan advantage bagi diri sendiri dan orang lain, bersinergi dengan orang lain, men-develop kehidupan orang lain, ini lebih dekat dengan humanistik yang rasionalistik ( tercerahkan ).
Jadi, motif dan cara yang kita pilih akan menentukan apakah yang kita miliki itu ambisi pribadi ( dorongan yang bernilai minus ) ataukah motivasi diri ( dorongan yang bernilai plus ). Begitu juga dengan kalimat takbir ( membesarkan nama Tuhan ) yang diucapkan para demonstran. Ada takbir ambisi dan arogan tetapi ada juga takbir motivasi dan perjuangan. Ini semua kembali pada motif¬motif tersembunyi di dalam diri seseorang yang belum ada parameter ilmiyahnya.
Kenapa Marketing Itu Perlu ?
Kalau dicari alasannya, tentu ini banyak. Sebagian dari yang banyak itu antara lain :
Pertama, tingkat kemacetan dalam struktur kehidupan masyarakat. Khusus yang hidup di kota¬kota besar, ini menjadi pokok. Ada yang mengilustrasikan kepada saya begini : kalau kita hidup di daerah dengan background pendidikan S2 dan pengalaman bidang IT, ini mungkin secara otomatik banyak orang yang tahu. Tapi, bagaimana kalau kita hidup seperti di Jakarta atau Surabaya ? Tetangga kita saja mungkin tidak tahu katau kita ini orang IT. Itu kira-kira gambarannya.
Hidup di kota besar itu memang menyimpan paradok. Satu sisi ada banyak saluran informasi, mudah mengakses informasi, dekat dengan sumber informasi, tetapi di sisi lain banyak orang yang mengalami krisis informasi. Tersedia ruang gerak yang cukup tuas, tetapi paradoknya, masing-masing orang hanya punya kehidupan yang sempit sesuai bidangnya. Ini terjadi karena semakin tingginya tingkat traffic kehidupan. Karena itu marketing diperlukan.
Terlepas di manapun kita berada saat ini, tetapi ada teori yang sudah dipraktekkan banyak orang di berbagai tempat. Untuk menyederhanakannya saya ingin menyebut dengan istilah pintu perantara. Menurut teori ini, kita bisa memarketingkan diri kepada siapapun dengan melewati pintu perantara itu dan umumnya tidak lebih dari sembilan pintu.
Gambaran ekstrimnya misalnya kita ingin bersalaman, foto, ber-acara, dan berkenalan dengan seorang tokoh politik atau pun pejabat tinggi, padahal kita berada di ujung Aceh sana dan kita pun tidak kenal artis tersebut. Dengan mengaplikasikan teori itu berarti kita perlu menghubungi dinas terkait yang ada di kabupaten. Setelah itu kita minta dihubungkan dengan orang di dinas di provinsi. Dari sini kita bisa minta dihubungkan dengan orang di kantor pusat. Nah kalau sudah sampai pusat, kita perlu minta dihubungkan dengan panitia yang kerap mengelola acara-acara beliau. Ketika sudah sampai pintu ini, hampir bisa dipastikan kita bisa bersalaman atau foto bersama pejabat tersebut.
Kedua, pengembangan diri. Pengalamanan Newton ini terkadang perlu juga kita praktekkan. Kata pengalamannya, kalau kita hanya mengerjakan hal-hal yang sudah pasti bisa kita kerjakan ( certainty atau ordinary ), ini menjadikan kita agak sulit berkembang ke yang lebih besar atau yang lebih tinggi. Supaya cepat, cobalah hal baru yang kira-kira mungkin ( possibility ) bisa kita lakukan. Syukur-syukur kita bisa mengerjakan hal-hal yang sebelumnya kita rasakan tidak mungkin tetapi bisa ( impossibility ). Tentunya perlu pakai kalkulasi.
Nah, apa hubungannya dengan marketing ? Yang kerap terjadi, tantangan dan peluang itu muncul setelah kita melakukan proses-proses yang bisa kita sebut marketing itu. Begitu kita memberitahukan kepada orang lain tentang apa yang kita tahu, orang lain pun biasanya akan menawarkan kita tantangan dan peluang yang baru. Karena itu teori networkingnya menyarankan agar kita menambah orang yang tahu tentang apa yang kita tahu ( know who knows you about what you know ). Lain soal kalau kita sudah sampai pada taraf wanted di bidang kita. Biasanya, proses marketingnya berjalan sendiri atau dijalankan oleh orang lain. Pada tahap ini tuntutannya bukan menambah, melainkan menjaga.
Ketiga, perlakuan orang lain pada kita. Orang lain itu bermacam-macam. Ada yang over-estimate ( menilai kita terlalu berlebihan ) dan ada yang under-estimate ( menilai kita sebelah mata ). Ini memang terjadi terkadang bukan murni salah kita. Bisa saja itu terjadi karena orang lain terlalu gegabah. Tapi pertu kita akui bahwa peranan penjelasan yang kita kemukakan kepada orang lain juga ikut menentukan. Nah, marketing di sini bisa kita fungsikan untuk memberikan penjelasan yang fair dan proporsional agar orang lain bisa memberikan perlakuan yang fair dan proporsional pula. Pepatah mengatakan, tak kenal maka tak sayang.
Yang Perlu Dilakukan dan yang Perlu Dihindari
Berdasarkan cara dan motif di atas, ada beberapa kaidah universal yang perlu kita hindari dan perlu kita lakukan. Ini antara lain:
Pertama, hindari berbohong. Berbohong ini kesepakatan universal. Semua manusia menolak kebohongan dan semua tatanan nilai mengharamkan kebohongan, entah kebohongan itu dalam arti memanipulasi atau "mengada-ada" atau tidak singkron secara logika. Kalau kita menginginkan orang lain supaya menganggap kita orang yang "wah" tetapi simbol status yang kita tunjukkan tidak singkron dengan penjelasan itu, ya ini sebetulnya masuk dalam kategori berbohong.
Yang perlu kita tekankan dalam marketing bukan harus berbohong dalam pengertiannya yang variatif itu, melainkan menjelaskan ( explaining ) apa yang menurut kita perlu dijelaskan dengan cara-cara yang kira-kira bisa membangkitkan ketertarikan orang ( attractiveness ). Tentunya harus dengan bukti supaya menarik dan tertarik. Perlu kita catat bahwa perbedaan antara menjelaskan dengan membohongi ini tidak kelihatan karena saking tipisnya. Kitalah yang harus lebih dulu tahu apakah kita sedang berbohong atau sedang menjelaskan.
Kedua, belajar menjadi asertif. Ini terkait dengan bagaimana kita mengkomunikasikan sesuatu kepada orang lain. Menurut Connie Podesta ( 2005 ), bagaimana kita mengkomunikasikan sesuatu, itu bisa dikelompokkan menjadi empat :
a. Assertif
b. Aggressif
c. Passif
d. Passif – Aggreessif
Asertif adalah gaya dan model komunikasi yang paling sehat. Sebagian cirinya adalah : memiliki alasan, pandangan atau bukti yang mendukung, diungkapkan dengan cara yang sopan dan dengan bahasa yang tidak berpotensi menyakiti, menyinggung, mengancam atau merendahkan orang lain. Asertif adalah menjelaskan diri kita dengan cara yang tidak mengganggu orang lain. Selain bisa kita pelajari melalui praktek hidup dengan melihat orang lain, ini juga sudah sering kita bahas di sini.
Komunikasi agresif, katanya, kerap menggunakan teknik, trik dan taktik yang mengandung manipulasi. Ini misalnya kita menginginkan orang lain tahu tentang kita tetapi caranya mengganggu orang lain. Kalau kita mengajak si A untuk bergabung di bisnis MLM yang kita ikuti dengan mengatakan bahwa pekerjaan / profesi si A itu salah total dan tidak mungkin menjadikannya kaya raya, ini berpotensi menyinggung. Padahal maksud kita adalah mengajak si A supaya tertarik dengan apa yang kita lakukan.
Komunikasi pasif biasanya dipraktekkan oleh orang yang sedang minder, belum pede, "jaim", malu, atau takut yang tidak jelas alasannya. Untuk kepentingan marketing, ini perlu kita perbaiki dengan memperkaya bukti-bukti dan memperbaiki penjelasan kita tentang diri kita kepada orang lain. Misalnya saja kita ditanya oleh interviewer apa aktivitas kita, apa yang sudah kita capai ( prestasi ), apa kelebihan kita dan apa kekurangan kita. Untuk orang yang belum terlatih dan belum memiliki banyak bukti, pertanyaan yang gampang ini menjadi sulit untuk menjawabnya.
Karena itu, dulu saya sering mengusulkan kepada para applicants ( pelamar kerja ) yang diwawancarai, terutama yang fresh graduate, agar menghafalkan profil dirinya dan mencontoh berbagai model CV dan resume. Dasarnya kala itu adalah pengalaman. Ternyata tidak banyak orang yang bisa menjelaskan dirinya dengan cara atau bahasa yang mudah dimengerti dan dengan standing yang meyakinkan.
Terakhir adalah model komunikasi passif - aggressif. Kalau konteknya marketing, komunikasi model ini bisa dijelaskan misalnya kita memang tidak berkonfrontasi dengan orang lain ( pasif ), tetapi kita pun tidak melirik ide / penjelasan orang lain ( dengan maksud tersembunyi ) agar hanya ide kita yang perlu dilirik. Banyak orang yang bermimpi untuk bisa bekerjasama atau bersinergi dengan orang lain, entah dalam hal apa. Tetapi sayangnya, yang dianggapnya benar atau yang harus dianggap benar adalah dirinya dan ide-idenya saja. Ini belum singkron dengan mimpi kita. Berani memasarkan diri, berani pula menerima upaya orang lain untuk memasarkan dirinya. Syukur-syukur terbuka kerjasama atau sinergi.
Ketiga, tunjukkan motivasi plus dan jauhkan diri dari motivasi minus. Istilah ini dipinjam dari penjelasan Donah Zohar dan Ian Marshall ( Spiritual Capital: 2004 ). Dalam memarketingkan diri, perlu juga memperhatikan hal-hal yang spiritual agar yang muncul adalah motivasi plus. Kalau konteksnya marketing, mungkin yang bisa dijelaskan seperti di bawah ini :
Niatkan untuk eksplorasi diri ( gali potensi untuk meningkatkan prestasi ), bukan untuk menonjolkan diri ( sombong dan arogan ). Eksplorasi diri adalah motivasi plus, sedangkan menyombongkan diri adalah motivasi minus.
• Niatkan untuk sosialisasi dan kooperasi ( sinergi atau kerjasama ), bukan untuk men-subordinasi atau memarahi orang lain. Sosialisasi dan kooperasi adalah motivasi plus.
• Niatkan untuk menambah kekuatan internal, bukan untuk memuluskan rencana keserakahan. Keserakahan adalah motivasi minus.
• Niatkan untuk meningkatkan penguasaan ( skill, kompetensi, dst. ), bukan melarikan diri dari ketakutan. Meningkatkan penguasaan adalah motivasi plus.
• Niatkan untuk memperluas wilayah pengabdian ( memberi manfaat pada orang lain ), bukan memanfaatkan orang lain. Memanfaatkan dalam arti eksploitasi adalah minus.
Intinya, motivasi plus di sini adalah motif yang digerakkan oleh keluhuran humanistik dan akal sehat. Sedangkan motivasi minus adalah motif yang digerakkan oleh nafsu egoisme atau animalistik. Mudah-mudahan ini bisa kita praktekkan.
H. Evaluasi/ Latihan :
Setelah Anda mempelajari materi kuliah, maka Anda dapat mengerjakan tugas berikut, dengan cara mendownload dan kirimkan jawaban Anda ke email : eisyainstitute@yahoo.co.id !
Tugas Anda !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar